Sunan Bejagung Tuban

Mengupas Mitos Peninggalan Sunan Bejagung Lor-B
Watu Gajah Penjelmaan Gajah Tentara Majapahit  ?

Sejarah penyebaran ajaran Islam di tanah Jawa tak bisa  dilepaskan dari sosok
Sunan Bejagung Lor dan Bejagung Kidul yang  makamnya berada di Desa Bejagung,
Kecamatan Semanding. Begitu  berpengaruhnya, sejumlah mitos dikaitkan dengan
kedua aulia ini.


DWI SETIYAWAN, Tuban

---

GUGUSAN batu besar nan hitam teronggok di barat lapangan  Desa Bejagung,
Kecamatan Semanding, sekitar 2,5 kilometer (km) selatan  barat Kota Tuban.
Sudah
ratusan tahun batu-batu tersebut bercokol di  tanah desa seluas 2 hektare
tersebut.


Sebagian batu mirip gajah,  terutama di bagian utara. Meski tidak dijaga dan
dilindungi dengan  bangunan pagar, tidak ada satu pun yang berani mengusik
batu-batu itu.  Jangankan membongkar, untuk sekadar memindahkan batu pun tidak
ada yang  bernyali.


Gugusan batu yang bernama Watu Gajah ini termasuk  salah satu mitos kebesaran
Sunan Bejagung Lor dan Bejagung Kidul. Konon,  batu-batu tersebut penjelmaan
dari gajah tentara Majapahit yang hendak  membawa pulang paksa Pangeran
Kusumohadi yang mengaji kepada Maulana  Abdullah Asyari (Sunan Bejagung).


Pangeran Kusumohadi adalah  putra Prabu Hayam Wuruk, salah satu raja Majapahit.
Setelah mengetahui  bahwa anaknya mengaji di Padepokan Sunan Bejagung Tuban,
maka sang prabu  memerintahkan patihnya Gajah Mada menjemput. Mendengar rencana
itu,  Pangeran Kusumohadimemohon kepada Sunan  Bejagung untuk membantunya
menolak kehendak Prabu Hayam Wuruk.


Alasannya,  pangeran ingin tetap menekuni ilmu Islam dan  tidak ingin menjadi
raja.  Kehendak pangeran tersebut dikabulkan Sunan Bejagung. Untuk melindungi
sang pangeran, Sunan Bejagung menggaret tanah sekitar Padepokan  Kasunanan
Bejagung yang sampai sekarang dikenal dengan Siti  Garet. Tujuannya, agar
tentara Majapahit tidak  bisa masuk kasunanan.


Tentara Majapahit akhirnya tak bisa masuk  kasunanan dan berhenti di selatan
kasunanan. Melihat itu, salah seorang  santri melapor kepada Sunan Bejagung
bahwa di sebelah selatan  kasunanan banyak pasukan gajah dari Majapahit. Sunan
Bejagung spontan  mengatakan tidak gajah tetapi batu. Karena  kekuatan karomah
sang wali, semua gajah menjadi batu.

Kepala UPTD  Museum Kambang Putih Tuban, Supriyadi membenarkan bahwa Watu Gajah

hanyalah bagian dari mitos sejarah Sunan Bejagung Lor dan Bejagung  Kidul.
Meski
dikaitkan dengan siar wali di daerah setempat, tidak ada  bukti sejarah yang
menguatkan kalau batu-batu tersebut adalah bagian  dari sejarah.

Karena itu, batu-batu tersebut tidak masuk benda  cagar budaya (BCB) yang
dilindungi. Dikatakan dia, yang masuk dalam  situs sejarah hanyalah seluruh
benda di dalam kompleks makam Sunan  Bejagung Lor dan Bejagung Kidul.

Mitos lain yang terkait dengan  karomah Sunan Bejagung adalah pantangan warga
Bejagung memakan ikan  meladang (jenis ikan laut). Sekdes Bejagung, Kusnadi
mengatakan, hampir  semua warganya tak pernah melanggar pantangan tersebut.
''Kalau  dilanggar, maka yang memakan akan gatal-gatal,'' kata dia.


Mitos  ini terkait dengan pengalaman Sunang Bejagung yang terapung di laut dan
ditolong ikan tersebut. Ponpes Sunan Bejagung mengupas pantangan  memakan ikan
ini dalam situsnya sunan-bejagung.net. Rujukannya, buku  Babad Tanah Jawa,
Babad
Tuban, dan juga buku dokumen Bejagung.


Dalam  situs ini disebutkan, suatu ketika Sunan Bejagung diajak berhaji oleh
santrinya yang berwujud jin. Santri tersebut sanggup menggendong Sunan
Bejagung
dari Tuban sampai ke Masjidil Haram Makkah. Namun, saat  digendong melintas
samudra, Sunan Bejagung lepas dan jatuh ke laut.


Dalam  musibah tersebut dikisahkan Sunan Bejagung selamat karena dan ditolong
ikan meladang. Ikan inilah yang membawa sunan sampai di suatu pantai di
Hadramaut (yang sekarang dikenal dengan Saudi Arabia). Setelah sampai di  Arab,
Sunan Bejagung berpesan kepada semua anak cucunya jangan sampai  makan ikan
meladang.

Dalam portal Ponpes Bejagung ini juga  dibeber sejarah kedatangan Sunan
Bejagung
yang dikaitkan dengan  hancurnya Kerajaan Pasai di Kutai. Setelah Pasai hancur,
terjadi eksodus  besar-besaran muballig Arab yang dipimpin Syekh Jumadil Kubro.

Pengikutnya, Syekh Ibrohim Asmoro Qondi, Maulana Ishak, Maulana Malik  Ibrahim,
Maulana Abdullah Asyari Sunan Bejagung, dan ulama lainnya.


Sesampai  di tanah Jawa yang menjadi tujuannnya, Syekh Jumadil Kubro membagi
tugas dakwah. Dia menuju kerajaan Majapahit. Maulana Ishaq ke Kadipaten
Banyuwangi, Maulana Malik Ibrahim ke Gresik. Sementara Syekh Maulana  Ibrohim
Asmoro Qondi dan  Syekh Maulana Abdullah  Asy'ari  ditugaskan di  Kadipaten
Tuban. Mubalig lainnya ditugaskan di tempat yang berbeda  dengan tujuan yang
sama, siar ajaran Islam.


Kedatangan Maulana  Abdullah Asy'ari di Tuban disambut baik Adipati Tuban
Wilotikto. Sang  Adipati sangat menghormati ulama pendatang tersebut, meski
pada
saat itu  dia belum bisa menerima islam sebagai agama yang baru. Bentuk rasa
hormatnya kemudian diwujudkan dengan memberikan tanah pardikan  (kemerdekaan)
di
sebuah daerah pegunungan yang saat ini bernama Desa  Bejagung di Kecamatan
Semanding.

Di daerah inilah Syekh Maulana  Abdullah Asy'ari mendirikan sebuah kasunanan
dengan nama Kasunanan  Bejagung sekitar 1360 M yang pada akhirnya menjadikan
beliau dikenal  dengan sebutan Sunan Bejagung .

Awalnya, tidak ada istilah Sunan  Bejagung Lor dan Sunan Bejagung Kidul karena
Sunan Bejagung memang hanya  satu yaitu Maulana Abdullah Asya'ari Sunan
Bejagung. Kisah ini berawal  dari datangnya seorang santri yang dikirim oleh
Syeh Jumadil Kubro.  Namanya, Pangeran Kusumohadi yang tidak lainputra  Prabu
Brawijaya IV atau Prabu Hayam Wuruk dari salah seorang selirnya.


Kusumohadi  pergi meninggalkan kerajaan karena tidak menginginkan tahta
kerajaan
yang saat itu menjadi rebutan antara Pangeran Wirabumi dan Putri Kusuma
Wardani. Setelah diterima sebagai santri Sunan Bejagung, Kusumohadiberganti
nama
menjadi Hasyim Alamuddin. Karena  alim, sholeh, dan ketauhidannya sangat
tinggi,
akhirnya Kusumohadi  diambil menantu Sunan Bejagung. Dia dinikahkan dengan
putrinya bernama Nyai Faiqoh.

Melihat kemampuan menantunya  dalam mengajarkan agama, Hasyim Alamuddin
dipasrahi siar di wilayah  Bejagung Kidul. Sementara Syekh Maulana Abdullah
Asy'ari berpindah atau  uzlah ke Bejagung bagian utara (Bejagung Lor). (*/yan)

0 komentar:

HERE IN FACEBOOK

free game Straw Hat Samurai

Diberdayakan oleh Blogger.