Makam sunan Bejagung, Peninggalan dan Mitos Yang Berkembang di Masyarakat


Sebagai situs makam yang dikeramatkan, makam Sunan Bejagung yang dikelilingi puluhan pepohonan tua berusia ratusan tahun itu oleh masyarakat diyakini menyimpan berkah. Di antaranya dapat mengeluarkan diri dari nasib ruwet (susah), sekaligus sebagai obat mujarab untuk menyembuhkan berbagai luka dan penyakit.
Meski pada awalnya makam ini kurang dikenal sebagaimana makam Sunan Bonang. Namun, situs wisata religi Sunan Bejagung atau Syaikh Abdullah Asy’ari yang konon semasa hidupnya menjadi penyulut pelita dan muadzin di Masjidil Haram ini mulai banyak dikunjungi oleh wisatawan.
Cerita-cerita yang berkembang dimasyarakat mulai menarik para peziarah dan wisatawan untuk menyaksikan langsung lokasi wisata ini. Diantara cerita yang masih menjadi keyakinan masyarakat sekitar yakni bahwa pada masanya hanya Sunan Bejagunglah yang mampu menyulut pelita di Masjidil Haram. Dan, yang menakjubkan, ketika waktu manjing (masuk) shalat isya’ tiba, Sunan Bejagung sudah kembali berada di tengah ratusan santrinya menjadi imam shalat.
Hal menarik lainnya yakni sebuah sumur giling yang digali sendiri oleh Sunan yang terletak di sebelah utara komplek makam. Sumur berbentuk persegi yang dipercaya sebagai salah satu maha karya Sunan Bejagung ini airnya tak pernah kering sepanjang musim bahkan saat musim kemarau terparah sekalipun.  Untuk menaikkan air dari sumur ini, dibuat kumparan besar dari kayu yang diletakkan melintang di atas sumur. Kumparan itu dibuat sedemikian rupa sehingga mudah untuk diputar. Dengan kedalaman 62 meter, bisa dibayangkan betapa sulitnya menaikkan air dengan katrol kecil.
Karena cara pengambilan air yang menggunakan kumparan kayu besar (gilingan).  Seperti pemintal benang yang banyak digunakan para pengrajin batikgedog dari Kecamatan Kerek, Tuban. Maka sumur hasil karya Syeikh Asy’ari tersebut kemudian dinamakan sumur Giling.
Bagi masyarakat Tuban, terutama yang tinggal di wilayah Kecamatan Semanding, Sumur Giling tak ubahnya sumur zam-zam yang ada di Masjidil Haram, Mekkah, Saudi Arabia. Menurut keyakinan masyarakat setempat, air sumur sedalam 62 meter tersebut memiliki berjuta karamah atau kasiat. Keyakinan itulah yang mengundang banyak orang berbondong-bondong datang ke situs makam salah satu penyebar agama Islam di Pulau Jawa ini. Kendati tidak masuk dalam daftar anggota Wali Songo, makam Sunan Bejagung tetap disejajarkan dengan para wali lainnya.
Menurut cerita tutur yang berkembang di masyarakat, pembuatan sumur tersebut dilakukan  hanya butuh waktu satu hari satu malam. Banyak orang percaya air Sumur Giling Sunan Bejagung mengandung energi luar biasa. Lantaran berada pada kedalaman 62 meter di bawah tanah diyakini mampu membuat badan lebih sehat.
Terlepas dari semua mitos tersebut, sumur giling tua peninggalan Sunan Bejagung itu menjadi bukti yang masih tersisa dari peradaban masa lalu bangsa Indonesia. Bahwa sejak zaman Majapahit, bangsa ini telah mengenal tehnologi  pengeboran, hal itu tidak bisa terbantahkan dengan bukti-bukti yang masih ada seperti Sumur Giling Sunan Bejagung tersebut.
Satu lagi yang menarik dari situs makam ini adalah Gugusan batu yang bernama Watu Gajah. Konon, batu-batu tersebut penjelmaan dari gajah tentara Majapahit yang hendak  membawa pulang paksa Pangeran Kusumohadi yang mengaji kepada Sunan Bejagung
Pangeran Kusumohadi adalah  putra Prabu Hayam Wuruk, salah satu raja Majapahit. Setelah mengetahui  bahwa anaknya mengaji di Padepokan Sunan Bejagung Tuban, maka sang prabu  memerintahkan patihnya Gajah Mada menjemput. Mendengar rencana itu, Pangeran Kusumohadi memohon kepada Sunan Bejagung untuk membantunya menolak kehendak Prabu Hayam Wuruk.
Kehendak pangeran tersebut dikabulkan Sunan Bejagung. Untuk melindungi sang pangeran, Sunan Bejagung menggaret tanah sekitar Padepokan Kasunanan Bejagung yang sampai sekarang dikenal dengan Siti  Garet.
Mitos lain yang terkait dengan  karomah Sunan Bejagung lor (utara) adalah pantangan warga Bejagung memakan ikan  meladang (jenis ikan laut). Mitos  ini terkait dengan pengalaman Sunang Bejagung yang terapung di laut dan ditolong ikan tersebut.
Awalnya, tidak ada istilah Sunan  Bejagung Lor (utara) dan Sunan Bejagung Kidul (selatan) karena Sunan Bejagung memang hanya  satu yaitu Maulana Abdullah Asya’ari Sunan Bejagung. Kisah ini berawal  dari datangnya seorang santri yang dikirim oleh Syeh Jumadil Kubro. Namanya, Pangeran Kusumohadi yang tidak lain putra Prabu Brawijaya IV atau Prabu Hayam Wuruk dari salah seorang selirnya.
Karena  alim, sholeh, dan ketauhidannya sangat tinggi, akhirnya Kusumohadi  diambil menantu Sunan Bejagung. Melihat kemampuan menantunya  dalam mengajarkan agama, Hasyim Alamuddin dipasrahi siar di wilayah  Bejagung Kidul. Sementara Syekh Maulana Abdullah Asy’ari berpindah atau  uzlah ke Bejagung bagian utara (Bejagung Lor).
Di kawasan ini juga terdapat kompleks pemakaman Citro Sunan yang letaknya hanya dibatasi jalan raya jurusan Tuban – Bojonegoro. Terletak di Desa Bejagung, Kecamatan Semanding Tuban. Berjarak sekitar satu kilometer ke selatan dari kota Tuban, atau satu jalur dengan obyek wisata pemandian Bektiharjo.

SEJARAH KOTA TUBAN

SEJARAH TUBAN, SILSILAH BUPATI TUBAN 
Yang menjadi permulaan ceritera sejarah ini ialah pada waktu Negara Pajajaran yang semula berpusat dekat Ciamis, diperintah oleh seorang raja yang bernama Prabu Banjaransari.
Pada waktu sang Prabu Banjaransari ini memerintah, keadaan Negara Pajajaran aman sejahtera dan rakyatnya hidup makmur, sehingga nama sang Prabu Banjaransari termasyhur bukan saja di dalam negeri, tetapi juga sampai di luar negeri.
Sang Prabu Banjaransari mempunyai banyak putra, akan tetapi sebagai pokok pangkal sejarah Tuban ini kita mengambil salah satu di antara para putra sang Prabu Banjaransari tersebut, yakni Raden Arya Metahun, yang kelak menurunkan para Bupati Tuban. Sang Prabu Banjaransari berputra Raden Arya Metahun. Raden Arya Metahun berputra Raden Arya Randu Kuning.
 2001 – 2011 (sampai sekarang)
I. Kabupaten Lumajang Tengah
Raden Arya Randu Kuning ini mengembara ke arah timur, dengan seizin neneknya yakni sang Prabu Banjaransari. Sampai di sebelah utara Kalakwilis Kecamatan Jenu Tuban. Raden Arya Randu Kuning menghentikan pengembarannya, dan kemudian membuka Hutan Srikandi yang terletak di tepi pantai dekat Gunung Kalakwilis untuk dijelmakan menjadi sebuah negara. Berkat keinginan dan kemauannya untuk menjadi bupati disertai dengan bekerja keras, maka lama-lama Hutan Srikandi menjadi sebuah perkampungan, yang akhirnya menjadi sebuah kabupaten yang diberi nama Kabupaten Lumajang Tengah dengan Raden Arya Randu Kuning sebagai bupatinya, yang kemudian bergelar Kyai Ageng (Kyai Gede Lebe Lontong + permulaan abad 12).
Alkisah ketika Kyai Gede Lebe Lontang menjadi Bupati Lumajang Tengah negara dalam keadaan aman, sentosa, gemah ripah loh jinawi, rakyat hidup makmur. Itu semuanya berkat kebijaksanaan dan kesaktian yang menimbulkan pribawa pribadi sang Bupati Lebe Lontang yang diperoleh dengan melakukan yoga, dan selalu berikhtiar dengan menggunakan daya kekuatannya agar kerajaan dan rakyatnya selalu hidup makmur, aman dan sejahtera.
Bekas wilayah Lumajang Tengah didapat kembali dalam hutan sebelah timur laut tempat pemberhentian Kereta Pos Bogang (Kecamatan Jenu).
Kyai Ageng Lebe Lontang ini menjadi bupati di Lumajang Tengah lamanya 22 tahun.
II. Kabupaten Gumenggeng
Kyai Ageng Lebe Lontang berputra seorang bernama Raden Arya Bangah, yang mempunyai kesaktian lebih dari ayahnya, lagi pula mempunyai paras yang elok, sehingga para gadis remaja jatuh cinta dengan tidak disadari oleh Arya Bangah.
Akan tetapi setelah ayahnya mangkat, Raden Arya Bangah tidak mau diangkat menjadi Bupati Lumajang Tengah menggantikan ayahnya, tetapi Raden Arya Bangah mempunyai keinginan keras akan mendirikan kabupaten sendiri. Akhirnya diputuskan pergi mengembara menuju ke arah selatan dengan diikuti keluarga dan rakyatnya. Setelah sampai di kaki gunung Rengel, Raden Arya Bangah beserta pengikutnya menghentikan perjalanan. Dan kemudian membuka hutan akan dijadikan perkampungan.
Lama-lama perkampungan tersebut menjadi sebuah kabupaten yang diberi nama Gumenggeng. Sebagaimana ayahnya, Kabupaten Gumenggeng ini menjadi kabupaten yang aman sejahtera, dan rakyatnya hidup tenang dan makmur. Bekas kabupaten tersebut sekarang menjadi Desa Banjaragung (Kecamatan Rengel).
Raden Arya Bangah mempunyai seorang putra bernama Arya Dandang Miring. Setelah memerintah 22 tahun, Raden Arya Bangah mangkat. Semasa hidup ayahnya, Redan, Arya Dandang Miring ini suka bertapa, kadang-kadang mengembara di tempat-tempat yang sunyi, dengan maksud minta kepada para dewata, agar keturunannya kelak dapat menjadi bupati prajurit dan negara yang akan diperintahnya selalu dalam keadaan aman tenteram, lagi pula rakyatnya dapat hidup makmur. Karena sangat kuat dan tabahnya Raden Arya Dandang Miring menyatukan cipta dan kehendaknya, akhirnya permintaannya dikabulkan oleh dewata yang mulia dan dalam bersamadi, Raden Arya Dandang Miring mendapatkan ilham yaitu : Semangkat ayahnya kelak, ia tidak diperkenankan menjadi bupati di Gumenggeng, sebab kalau tetap menjadi bupati di Gumenggeng, apa yang dicita-citakan tidak akan tercapai. Untuk mencapai cita-cita itu ia harus membuka hutan sendiri yang letaknya di sebelah barat laut dari Kabupaten Gumenggeng, dan lagi kabupaten tersebut hanya khusus untuk Raden Arya Dandang Miring sendiri. Permintaannya baru terkabul jika putranya kelak membuka hutan yang bernama Papringan dan setelah dibuka, supaya diberi nama Tuban. Dan putranya itulah kelak yang dapat menurunkan para Bupati Tuban turun temurun dan Kabupaten Tuban akan menjadi kabupaten yang aman tenteram, lagi rakyatnya hidup makmur sesuai dengan permintaannya, juga akan menjadi tempat peristirahatan (makam) para wali atau para aulia dari Negeri Arab, kalau sudah tiba waktunya. Zaman itu adalah zaman masuknya kebudayaan Hindu di Pulau Nusantara dan menurut ramalan itu, kelak Tuban akan memasuki babak baru dimana agama Islam mulai berkembang (3 abad kemudian yaitu abad 15). Perintah Dewata yang mulia (ilham) yang diterima itu, dilaksanakan oleh Raden Arya Dandang Miring.
III. Kabupaten Lumajang
Oleh karenanya setelah ayahnya mangkat Raden Dandang Miring tidak mau menggantikan ayahnya menjadi Bupati Gumenggeng, akan tetapi memerintahkan kepada semua penggawa dan rakyatnya membuka hutan yang bernama Ancer yang letaknya di sebelah barat laut Kabupaten Gumenggeng. Setelah pembukaan hutan tersebut selesai, lalu diberi nama Lumajang. Raden Arya Dandang Miring berputra seorang yang diberi nama Raden Dandang Wacana, parasnya sangat bagus, sakti lagi berbudi maha pendeta utama, dengan demikian sangat dikasihi oleh rakyatnya. Sedang Bupati Raden Arya Dandang Miring memerintah Negara Lumajang dengan aman sentosa, rakyat dan penggawa sangat kasih kepada beliau. Negara dan rakyat dalam keadaan aman sentosa, sehingga penduduknya tidak mengenal pencuri dan kekurangan. Setelah Raden Arya Dandang Miring memerintah Lumajang selama 20 tahun, kemudian mangkat. Sebelum beliau mangkat, beliau berpesan kepada putranya Raden Arya Dandang Wacana supaya melakukan ilham yang diterima dari dewata mulia, yakni membuka Hutan Papringan untuk dijadikan negara.
Semangat ayahnya, Raden Arya Dandang Wacana melaksanakan apa yang diperintahkan oleh ayahnya. Rakyat beserta penggawa Kabupaten Lumajang, diperintahkan membuka Hutan Papringan dan setelah pembukaan tersebut selesai, kemudian diberi nama Tuban.
IV. Kabupaten Tuban
Pada waktu pembukaan Hutan Papringan, keluarlah dengan tidak terduga Sumber Air, Metu Banyu (bahasa Jawa) yang kemudian disingkat menjadi Tu-Ban, merupakan nama wilayah kabupaten yang spontan diberikan oleh Raden Arya Dandang Wacana, sumber air ini sangat sejuk dan meskipun terletak di tepi pantai utara Pulau Jawa, mata air tadi tidak bergaram, lain halnya dengan pantai kota-kota lainnya.
Bupati ke I
Dalam pemerintahan Raden Arya Dandang Wacana negara dan rakyat selalu dalam keadaan aman dan sejahtera, pencuri perampok tidak dikenal oleh penduduk. Sandang pangan berlimpah-limpah, penduduk tak pernah merasa kekurangan. Siang malam selalu ramai, hampir tak ada bedanya. Oleh karena itu penduduk sangat cinta dan kasih kepada sang Bupati Raden Arya Dandang Wacana.
Setelah 3 tahun memegang pemerintahan Raden Arya Dandang Wacana memerintahkan membuat Pesanggrahan. Pesanggrahan ini dikelilingi parit dan kolam, ditanami dengan aneka macam pohon yang menyebabkan Pesanggrahan tersebut rindang dan membuat pemandangan yang sangat indah dan menarik. Pesanggrahan tersebut kini diberi nama “Bekti” dan nama ini diambilkan dari kata “Pangabekti” (bahasa Jawa). Sebab jika sang Bupati Raden Arya Dandang Wacana sedang beristirahat di Pesanggrahan tersebut, banyak penggawa dan rakyat yang berdatang sembah (mengabekti). Dan sekarang Pesanggrahan dan desa tersebut namanya menjadi “Bektiharjo” (Harjo = rejo, banyak pengunjung). Perlu diketahui bahwa Raden Arya Dandang Wacana juga berganti nama Kyai Gede Papringan. Setelah memerintah 20 tahun Bupati Dandang Wacana mangkat, jenazahnya dimakamkan di dekat Kaligunting Desa Prunggahan Kulon, Kecamatan Semanding.
Kabupaten Tuban yang tersebut pertama tadi, sekarang menjadi 3 desa yakni : “Dukuh Trowulan, Desa Prunggahan Kulon dan Desa Prunggahan Wetan.” Hingga sekarang para wanita kelahiran 3 desa tersebut, terkenal akan kecantikannya dan terdapat ciri khas yakni “dekik” (bahasa Jawa) pada pipinya. Kecantikan wanita-wanita tersebut bagaikan bidadari yang mengejawantah, oleh karena itu para pemuda boleh pilih untuk dijadikan teman hidupnya. Agar mudah diingat, para bupati yang pernah memerintah dalam Kabupaten Tuban, kami beri nomor urut.
Bupati pertama dari Kabupaten Tuban ialah Raden Arya Dandang Wacana (Kyai Ageng Papringan, sebab Raden Arya Dandang Wacanalah yang mendirikan kabupaten dengan nama Tuban. Menurut babad Tuban karangan E.J. Jasper, Tuban merupakan daerah Andahan, (vazalstaat) dari Majapahit, sejak Arya Dikara menjadi Bupati Tuban, bupati yang terakhir ini (yang ke 6 dari daftar Bupati Tuban) setelah mempunyai menantu Syeh Ngabdur¬rahman, kemudian memeluk agama Islam (abad ke15). Kyai Ageng Papringan berputra 2 orang, yakni Nyai Ageng Lanang Jaya dan Nyai Ageng Ngeksa. Nyai Ageng Lanang Jaya berputra seorang yang diberi nama Raden Ronggolawe, Nyai Ageng Ngeksa berputra seorang yang diberi nama Raden Arya Kebo Anabrang.
Bupati ke II
Setelah neneknya mangkat (Kyai Ageng Papringan) yang menggantikan jadi bupati yakni cucunya Raden Hariyo Ronggolawe. Setelah Raden Hariyo Ronggolawe memegang tampuk pemerintahan, rumah kabupaten dipindah sebelah barat Guwo Akbar. Bekas kabupaten sekarang dipergunakan untuk makam Bakung Kecamatan Semanding).
Bupati ke III
Sesudah Raden Ronggolawe mangkat, Raden Sirolawe menggantikan ayahnya menjadi Bupati Tuban. Beliau memerintah selama 15 tahun dan mangkat.
Bupati ke IV
Raden Hariyo Sirolawe berputra seorang bernama Raden Hariyo Sirowenang dan setelah ayahnya mangkat ia menjadi bupati. Pemerintahan Sirolawe berlangsung selama 43 tahun.
Bupati ke V
Setelah Raden Hariyo Sirowenang mangkat, diganti oleh puteranya, Raden Hariyo Lena. Pemerintahan berlangsung selama + 52 tahun dan pada pemerintahannya rumah kabupaten dipindahkan ke Desa Doromukti (Kecamatan Kota Tuban).
Bupati ke VI
Setelah mangkatnya Raden Hariyo Leno, Raden Hariyo Dikara puteranya menggantikan menjadi bupati. Beliau memerintah selama 18 tahun dan kabupatennya berdiri tetap di Desa Doromukti. Beliau mempunyai putera 2 orang yakni : Raden Ayu Hariyo Tejo dan Kyai Ageng Ngraseh. Kemudian Raden Ayu Hariyo Tejo menjadi isteri Syeh Ngabdurahman, putera Syeh Jali/Syeh Jalaludin/Kyai Makam Dawa/Ngalimurtala dari Gresik (saudara Sunan Ngampel). Sejak pemerintahan Bupati Raden Dikara, Bupati Tuban memeluk agama Islam.
Bupati ke VII
Setelah Bupati Raden Hariyo Dikara mangkat yang menggan¬tikan menantunya Syeh Ngabdurahman dan kemudian berganti nama Raden Hariyo Tejo. Beliau memerintah selama + 41 tahun (tahun 1460). Dibawah pemerintahan Bupati Raden Hariyo Tejo inilah, maka Tuban sebagai daerah andalan Majapahit, turut memberontak membantu Raden Patah melawan Brawijaya. Majapahit jatuh kedalam kekuasaan Raden Patah tahun 1478, yang kemudian menjadi Sultan Demak dan sejak itu Tuban ada di bawah Demak.
Bupati ke VIII
Raden Hariyo Tejo mempunyai seorang putera yang diberi nama Raden Hariyo Wilatikta dan setelah ayahnya mangkat, beliau yang menggantikan. Pemerintahan Bupati Hariyo Wilatikta ini berlangsung selama + 40 tahun.
Bupati ke IX
Setelah Raden Hariyo Wilatikta mangkat, yang menggantikan menjadi bupati ialah Kyai Ageng Ngraseh, yang kemudian kawin dengan Putera Raden Hariyo Wilatikta. Setelah memerintah + 40 tahun mangkat.
Bupati ke X
Perkawinan Kyai Ageng Ngraseh dengan putra putri Raden Hariyo Wilatikta berputera seorang yang diberi nama Kyai Ageng Gegilang yang kemudian menggantikan ayahnya. Pemerintahannya berlangsung selama + 38 tahun.
Bupati ke XI
Penggantian Kyai Ageng Gegilang ialah yang bernama Kyai Ageng Batabang. Beliau mangkat setelah memerintah selama 14 tahun lamanya.
Bupati ke XII
Pengganti Bupati Kyai Ageng Batabang ini putra tunggalnya ialah Raden Hariyo Balewot. Beliau memerintah selama + 56 tahun kemudian mangkat.
Bupati ke XIII
Bupati Hariyo Balewot mempunyai 2 orang putra yakni Pangeran Sekartanjung dan Pangeran Ngangsar. Setelah Bupati Raden Hariyo Balewot mangkat yang menggantikan ialah puteranya sulung yaitu Pangeran Sekartanjung.
Bupati ini terbunuh waktu beliau sedang bersembahyang Jum’at dengan ditusuk Pusaka Lilam Upih yang bernama Kyai Loyan dari belakang oleh adiknya yaitu Pangeran Ngangsar. Tusukan ini menembus punggung dan dada dan akhirnya Bupati Pangeran Sekartanjung mangkat. Pemerintahannya berlangsung selama + 22 tahun dan mempunyai putra 2 orang yaitu Pangeran Hariyo Permalat dan Hariyo Salampe, waktu ayahnya mangkat kedua putranya masih kecil.
Bupati ke XIV
Pengganti Bupati Pangeran Sekartanjung ialah adiknya Pangeran Ngangsar. Baru memerintah 7 tahun beliau mangkat.
Bupati ke XV
Setelah Bupati Pangeran Ngangsar mangkat, yang menggantikan ialah Pangeran Hariyo Permalat, sekira pada tahun 1568 bupati ini kemudian kawin dengan putra putri Kanjeng Sultan Pajang (Raden Jaka Tingkir), Raden Jaka Tingkir menjadi Sultan Pajang tahun 1568 dan Tuban termasuk daerah kekuasaannya.
Beliau mempunyai seorang putra diberi nama Pangeran Dalem. Setelah memerintah selama + 38 tahun kemudian mangkat, pada masa itu Pangeran Dalem masih kecil.
Bupati ke XVI
Karena Pangeran Dalem masih kecil, maka yang menggantikan Bupati Pangeran Hariyo Permalat ialah Hariyo Salampe. Pemerintahan bupati ini berlangsung selama + 32 tahun dan kemudian mangkat.
Bupati ke XVII
Setelah Bupati Hariyo Salampe mangkat, digantikan oleh Pangeran Dalem. Pada masa pemerintahan, beliau memindah rumah kabupaten ke Kampung Dagan (Kota Tuban) sebelah selatan Watu tiban. Di samping itu beliau mendirikan masjid dan benteng di luar kota, terletak di Guwo Akbar membujur dari timur ke barat. Pembuatan benteng ini, Kyai Mohammad Asngari yang ditugaskan, sebagian dari benteng ternyata belum dapat diselesaikan pada waktunya. Dan ketika hal ini diketahui oleh Bupati Pangeran Dalem, Kyai Mohamad Asngari dipanggil menghadap ke kabupaten. Setelah Kyai Mohamad Asngari menghadap, Bupati Pangeran Dalem memerintahkan agar benteng tersebut lekas dapat, diselesaikan, dan bilamana tidak, Kyai Mohammad Asngari akan menerima hukuman, hal mana disanggupi. Dengan hati sedih Kyai pulang dan pada malam harinya ia bersamadi. Permintaannya, dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa dan pada pagi harinya benteng yang dimaksud telah jadi dengan megahnya. Hal mana sangat mengagumkan penduduk di sekitarnya juga Bupati Pangeran Dalem. Karena indah lagi besar, maka benteng tersebut oleh Pangeran Dalem diberi nama Benteng Kumbakarna. Dan sejak itu pulalah maka Kyai Mohammad Asngari termashur karena kesaktian ilmunya.
Hal pembuatan benteng terdengar juga oleh Sultan Mataram Hanyakra Kusuma saudara dari Martadipura putra dari Panembahan Seda Krapyak (Panembahan Seda Krapyak putra dari Sutawijaya), dan diketahui pula bahwa Bupati Pangeran Dalem akan melepaskan diri dari Sultan Mataram (1614). Hal tersebut dapat diketahui oleh Sri Sultan dengan bukti Benteng Kumbakarna yang didirikan oleh Bupati Pangeran Dalem. Untuk membuktikan dugaan tersebut Sri Sultan secara diam-diam mengirimkan utusan ke Tuban untuk menyelidiki akan kebenarannya. Yang mendapat tugas menjadi mata-mata ialah Kyai Randu Watang. Dalam menjalankan tugas mata-mata tersebut, Kyai Randu Watang setibanya di Tuban menanam 2 batang pohon randu alas sebagai tanda bukti bahwa Kyai Randu Watang telah sampai di Tuban. Tugas yang diberikan oleh Sri Sultan dapat dilaksanakan dengan baik, dan dapat diketahui olehnya bahwa benar-benar Bupati Pangeran Dalem ingin melepaskan diri dari kekuasaan Mataram. Kemudian ia lekas-lekas kembali ke Mataram untuk melaporkan hal tersebut kepada Sri Sultan. Setelah Sri Sultan mendengarkan laporan itu beliau sangat murka. Untuk mencegah maksud Bupati Pangeran Dalem tersebut, Sri Sultan mengirimkan 35.000 orang prajurit yang dipimpin oleh Pangeran Pojok ke Tuban.
Sebaliknya Bupati Pangeran Dalem setelah mendengar bahwa Prajurit Mataram akan menyerang Tuban, beliau memerintahkan kepada semua prajurit berjaga-jaga akan segala kemungkinan yang akan terjadi. Kedatangan prajurit-prajurit Mataram disambut dengan pertempuran oleh Prajurit Tuban. Pertumpahan darah terjadi, dan kedua belah pihak menderita kerugian yang besar. Mula-mula prajurit-prajurit Tuban disemua medan mendapat kemenangan, tetapi karena jumlah prajurit Mataram lebih banyak, maka akhirnya Prajurit Tuban banyak yang lari dan menyerah (1619). Setelah diketahui bahwa Prajurit Tuban banyak yang lari dan menyerah Bupati Pangeran Dalem melarikan diri ke Pulau Bawean. Tetapi di Pulau Bawean beliau tidak lama tinggal kemudian pergi ke Desa Rajekwesi (Bojonegoro sekarang). Pada waktu itu Rajekwesi masih merupakan hutan dan di bawah pemerintahan Jipang Panolan. Setelah menetap 5 tahun lamanya di Rajekwesi, Pangeran Dalem mangkat dan dimakamkan di Desa Kadipaten terletak di sebelah timur Kota Bojonegoro.
Hingga kini makam tersebut masih ada, terkenal dengan nama makam Buyut Dalem. Pada waktu peperangan sedang berkobar, meriam pusaka Kyai Sidomurti yang ditempatkan di Desa Kepohdondong (Palang) hilang tak berbekas. Menurut E.J. Jasper, meriam tersebut asal hadiah dari Portugis atau dari Belanda dan jatuh di tangan Tentara Mataram. Setelah peperangan berakhir dengan kekalahan Tuban, Pangeran Pojok segera memberi laporan kepada Sri Sultan. Atas perintah Sri Sultan, Pangeran Pojok diizinkan menjadi bupati di Tuban.
Bupati ke XVIII
Pangeran Pojok memegang pemerintahan selama + 42 tahun. Pada Hari Gerebeg Maulud tahun Dal semua bupati di seluruh tanah Jawa datang ke Mataram untuk menghadap Sri Sultan. Demikian pula halnya dengan Bupati Pangeran Pojok. Tetapi ketika perjalanan beliau menuju Mataram sampai Blora, beliau mendadak sakit dan mangkat di situ juga. Jenazahnya dimakamkan di sebelah selatan alun-alun Blora. Pada waktu beliau mangkat para putra masih kecil, oleh karena itu tidak dapat menggantikan jadi bupati.
Bupati ke XIX
Penggantinya ialah Pangeran Anom adik Pangeran Pojok. Dan setelah Pangeran Anom memegang pemerintahan selama 12 tahun atas perintah Sri Sultan, Pangeran Anom diberhentikan dari jabatan. Di Kabupaten Tuban untuk sementara waktu, jabatan bupati ditiadakan dan hanya diberi perwakilan (Umbul) 4 orang yakni : 1. Wongsoprojo bertempat di Jenu, 2. Wongsohito bertempat di Gresik, 3. Wongsocokro di Kidulngardi, 4. Yudoputro bertempat di Singgahan.
Bupati ke XX
Selanjutnya yang jadi bupati ialah Pangeran Sujokopuro atau Yudonegoro dan kabupaten bertempat di Prunggahan Kulon (Kecamatan Semanding).
Bupati ke XXI
Untuk mengisi lowongan jabatan bupati di Tuban, setelah Yudonegoro, oleh Sri Sultan diangkat Arya Balabar atau Arya Blender asal dari Mataram. Dan pemerintahan Arya Blender, rumah kabupaten dipindahkan ke Kampung Kaibon yang terletak di sebelah selatan makam Kyai Kusen (Kota Tuban). Beliau mangkat setelah memerintah + 39 tahun, membuat masjid sebelah barat makam Sunan Bonang.
Bupati ke XXII
Pengganti Bupati Arya Balabar ialah Pangeran Sujonoputro, Bupati Japanan (Mojokerto). Pada masa pemerintahan bupati ini rumah kabupaten dipindahkan ke Desa Prunggahan (Semanding), pemerintahan beliau berlangsung selama 10 tahun, kemudian mangkat dan dimakamkan di Desa Boto.
Bupati ke XXIII
Yang menggantikan ialah Putra Pangeran Judonegoro. Beliau mangkat setelah memerintah 15 tahun dan jenazahnya dimakamkan di Giri.
Bupati ke XXIV
Setelah Bupati Pangeran Yudonegoro mangkat, penggantinya adalah Raden Arya Surodiningrat, bupati dari Pekalongan. Pada masa pemerintahan Raden Arya Surodiningrat, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Arya Diposono dan dibantu oleh Kyai Mangunjoyo asal dari Madura. Bupati Arya Surodiningrat mangkat dalam peperangan melawan kaum pemberontak setelah memegang pemerintahan selama 12 tahun lamanya.
Bupati ke XXV
Setelah dapat mengalahkan Bupati Raden Arya Suryodiningrat, Raden Aryo Diposono menggantikan jadi bupati. Setelah 16 tahun lamanya beliau memerintah Kabupaten Tuban, terjadilah peperangan melawan orang Madura. Peperangan ini berlangsung di Desa Singkul atau Sedayu. Raden Aryo Diposono mangkat dalam peperangan ini. Jenazahnya dimakamkan di Desa Singkul juga.
Bupati ke XXVI
Kyai Reksonegoro Patih Tuban setelah itu menjadi bupati berganti nama Kyai Tumenggung Cokronegoro. Mangkat setelah memerintah selama 47 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Desa Dagangan (Kecamatan Parengan). Karena banyak berjasa kepada negara, Kyai Tumenggung Cokronegoro diberi pangkat kehormatan “Adipati”, Menurut J.E. Jasper tahun 1773 Gubernur van de Burgh mengusulkan pada Sultan Mataram supaya Bupati Tuban Mas Reksonegoro atau Mas Tumenggung Cokronegoro dipecat, karena pemerintahannya memberatkan penduduk dan tak dapat memenuhi tugasnya membayar upeti pada pemerintahan Belanda.
Bupati ke XXVII
Pengganti Adipati Cokronegoro ialah putranya yakni Kyai Purwonegoro. Ketika pemerintahan Bupati Purwonegoro ini berlangsung + 24 tahun, beliau sakit dan mengambil perlop atau cuti dan pergi ke Demak. Sakit beliau tidak berkurang, bahkan makin parah, akhirnya mangkat dan jenazahnya dimakamkan di Demak juga. Bupati Purwonegoro juga terkenal dengan sebutan Bupati Perlop, yakni asal dari kata “perlop” atau “cuti”.
Bupati ke XXVIII
Setelah Bupati Purwonegoro mangkat, penggantinya ialah Bupati Kyai Lieder Surodinegoro (Lieder = Ridder in de Orde van Oranje Nassau = nama bintang jasa). Pemerintahan Bupati Kyai Lieder Surodinegoro ini hanya berlangsung selama 3 tahun dan kemudian mangkat.
Bupati ke XXIX
Setelah Bupati Lieder Suryoadiwijoyo mangkat, diganti oleh putranya, yakni Raden Suryoadiwijoyo atau Raden Tumenggung Suryodinegoro. Pada masa pemerintahannya beliau memerintahkan memindah rumah kabupaten ke Kampung Gowah (Desa Sendangharjo Tuban). Pembuatan rumah kabupaten ini dapat diselesaikan pada tanggal 1 Juli 1814. Pemerintahan Bupati Raden Suryoadinegoro ini berlangsung selama 12 tahun dan berhenti.
Bupati ke XXX
Pengganti Bupati Raden Suryoadinegoro ini adalah Bupati Pangeran Citrasoma ke VI, asal Bupati Jepara atau nomor VI urutan dari Jepara. Pemerintahan Bupati Pangeran Citrasoma ke VI ha¬nya berlangsung selama 6 tahun, kemudian dipindahkan ke Lasem. Selama 3 tahun, terus dipindahkan lagi ke Jepara. Pembuatan ru¬mah kabupaten tahun 1821, yang menjadi tempat kediaman para bupati sampai sekarang.
Bupati ke XXXI
Pengganti Bupati Pangeran Citrasoma ke VI ini ialah Bupati Pangeran Citrasoma ke VII atau dihitung dari Tuban, Citrasoma II. Setelah memerintah selama 20 tahun mangkat.
Bupati ke XXXII
Pengganti Bupati Citrasoma ke VII ialah Bupati Pangeran Citrasoma ke VIII atau dari Tuban ke III. Memerintah selama 20 tahun, kemudian pensiun.
Bupati ke XXXIII
Pengganti Bupati Pangeran Citrasoma ke VIII, ialah Bupati Raden Tumenggung Panji Citrasoma ke IX atau Tuban ke IV, setelah memerintah 22 tahun kemudian dipensiun.
Bupati ke XXXIV
Setelah Bupati Raden Tumenggung Citrasoma ke IX pensiun, diganti oleh Raden Mas Somobroto tahun 1892, setelah memerintah 4 bulan mangkat, jenazahnya dimakamkan di makam Astana Bonang.
Bupati ke XXXV
Setelah Raden Mas Tumenggung Somobroto mangkat diganti oleh menantunya ialah Raden Adipati Arya Kusumodigdo. Beliau mangkat setelah memerintah selama 16 tahun dan jenazahnya dimakamkan di Astana Makampati Tuban (tahun 1893¬1911).
Bupati ke XXXVI
Pengganti Raden Adipati Arya Kusumodigdo kakaknya Raden Tumenggung Pringgowinoto asal Patih Rembang 1911-1919. Pada tahun 1920 di Tuban dimulai jalan Kereta Api NIS.
BUPATI KE XXXVII : R.AA. PRINGGODIGDO/KUSUMODININGRTA 1919-1927
BUPATI KE XXXVIII : R.M.A.A. KUSUMOBROTO 1927-1944
BUPATI KE XXXIX : R.T. SUDIMAN HADIATMODJO 1944-1946
BUPATI KE XL : R.H. Mustain 1946-1956
BUPATI KE XLI : R. Sundaru 1956-1958
BUPATI KE XLII : R. Istomo 1958-1960
BUPATI KE XLIII : M. Widagdo 1960-1968
BUPATI KE XLIV : R. Soeparmo 1968-1970 (p.d.) (Penyusun Catatan Sejarah Tuban)
BUPATI KE XLV : R. H. Irchamni 1970-1975
BUPATI KE XLVI : H. Moch. Masdoeki 1975-1980
BUPATI KE XLVII : Surati Moersam 1980 - 1985
BUPATI KE XLVIII : Drs. Djoewahiri Marto Prawiro 1985 - 1991
BUPATI KE XLIX : Drs. H. Sjoekoer Soetomo 1991-
BUPATI KE XLX : Hindarto 1996 - 2001
BUPATI KE XLXI : Dra. Haeny Relawati Rini Widiastuti, MSi

Makam Sunan Bejagung, Situs Penyulut Pelita Masjidil Haram

Kalau Anda berkunjung ke Tuban, jangan lupa berziarah ke makam Sunan Bejagung. Memang, situs ini tak sepopuler makam Sunan Bonang. Tapi, jangan salah, selain mulai ramai dikunjungi, situs ini juga dikeramatkan orang. Mengapa?
Makam Sunan Bejagung atau Syech Abdullah Asy’ari terletak di Desa Bejagung, Kecamatan Semanding. Sebuah tanah perdikan wilayah Kabupaten Tuban yang kering dan berbatu. Dari pusat kota yang digelari Bumi Ronggolawe itu hanya berjarak sekitar satu kilometer arah selatan, atau berada dalam satu jalur dengan objek wisata pemandian Bektiharjo.
Situs wisata religi ini dikeramatkan orang lantaran semasa hidupnya Sunan Bejagung dikenal sebagai penyulut pelita dan muadzin di Masjidil Haram. Konon, hanya Sunan Bejagung yang mampu melaksanakan tugas itu. Dan, yang menakjubkan, ketika waktu manjing (masuk) shalat isya’ tiba, Sunan Bejagung sudah kembali berada di tengah ratusan santrinya menjadi imam shalat.
Legenda tersebut hingga kini masih hidup dan dipahami sebagai salah satu kelebihan ulama kelahiran Hadrah Maut atau sekarang disebut Yaman itu.


Sudah Beraspal
Akses jalan menuju dua kompleks pemakaman yang disebut Bejagung Lor (utara) dan Bejagung Kidul (selatan) kini sudah beraspal hotmix.
Di kawasan ini juga terdapat kompleks pemakaman Citro Sunan yang letaknya hanya dibatasi jalan raya jurusan Tuban-Bojonegoro. Sebuah jalur alternatif pada jurusun yang sama ketika jalur Tuban-Surabaya atau jalur bawah mengalami kemacetan.
Menurut KH Dr Abdul Matin SH, penyusun Babad Sunan Bejagung, pada awalnya tidak ada istilah Bejagung Lor dan Kidul. “Karena memang Sunan Bejagung hanya ada satu yakni Syech Maulana Abdullah Asy’ari,” jelas Kiai Matin yang juga pengasuh Ponpes Sunan Bejagung. Diruntut secara garis dzurriyah, Kiai Matin termasuk keturunan ke-12 sunan yang semasa hidupnya dikenal santun dan lemah lembut itu.
Pangeran Kusumo
Sebutan dua nama berbeda itu, papar Kiai Matin, berawal dari kedatangan Pangeran Kusumo Hadiningrat atau Pangeran Sudimoro ke perdikan Bejagung atas perintah Syech Jumadil Kubro untuk memperdalam ilmu ketauhidan kepada Syeh Asy’ari. Karena wara’i-nya, lantas putra keempat Prabu Brawijaya atau Prabu Hayam Wuruk ini dijadikan menantu oleh Sunan Bejagung untuk menikahi salah seorang putrinya, Nyai Faiqoh.
Dalam perjalanannya, putra mahkota Majapahit yang meninggalkan gemerlap cahaya istana dan memilih menjadi santri Sunan Bejagung akibat konflik perebutan kekuasaan antara dua bersaudara Pangeran Wirabumi dan Putri Kusuma Wardani, kemudian berganti nama menjadi Hasyim Alamuddin atau yang kemudian lebih dikenal dengan gelar santrinya Pangeran Penghulu.
“Perdikan Bejagung Kidul inilah yang dulu menjadi pusat penyebaran agama Islam dengan segala aktifitas pesantrennya yang dilakukan oleh Syech Asy’ari,” jelas Kiai Matin yang dikenal balaghah membedah berbagai kitab kuning dan pernah menakhodai NU Tuban sebagai Rais Tanfidziyah selama dua periode beruntun itu.
Dijelaskan Kiai Matin, karena memiliki kemampuan yang dianggap sudah setara dengan Sunan Bejagung, akhirnya seluruh tugas dakwah di Kasunan Bejagung diserahkan kepada Pangeran Penghulu. Itu adalah sebuah penghargaan tertinggi yang diberikan Sunan Bejagung kepada putra mantunya.
Setelah semua tugas dakwah diserahkan kepada menantunya, kemudian Sunan Bejagung memilih uzlah (pindah) ke perdikan Bejagung Lor sampai akhir hayatnya. “Secara tradisi setiap peziarah yang akan melakukan rialat di makam Sunan Bejagung harus dimulai dari makam Bejagung Kidul terlebih dulu. Meski secara personal status maqam kewaliannya lebih tinggi dari Bejagung Lor,” kata Kiai Matin.
Apa yang dilakukan Sunan Bejagung ini mengikuti jejak dan ibarat Rasulullah s.a.w. ketika memiliki menantu Sayyidina Ali. Sabda Rasulullah: ana madinatul ilmu wa Aliyyu babuha. Faman arodal Madinah faya’tiha min babiha (saya ibarat kotanya ilmu, sedangkan Ali adalah pintunya. Maka barangsiapa akan menuju kotahenaklah melalui pintu kota).
Bumi Wali
Sunan Bejagung yang terlahir dengan nama Maulana Abdullah Asy?ari adalah salah satu putra dari Syech Maulana Ibrahim Asmara bin Sayyid Jamaluddin Al Kusaini Al Kubro atau Syech Jamaludin Kubro yang kemudian kesohor dengan panggilan Syech Jumadil Kubro. Keturunan yang melahirkan generasi Wali Songo bersama kakak kandungnya Syech Maulana Ibrahim Asmoro Qodhi yang kelak lebih populer disebut Sunan Gresik.
Keduanya memilih Tuban sebagai rumah terakhir setelah mengemban misi dakwah menyebarkan Islam di Kadipaten (sekarang kabupaten) Tuban dari ayahandanya Syech Jumadil Kubro pasca meredupnya kejayaan kerajaan Pasai.
Dan di bumi Tuban itu pula jasad keduanya disemayamkan, sehingga bumi kabupaten ini kondang dengan sebutan Bumi Wali.
Maulana Ibrahim Asmoro Qodhi (Sunan Gesik) dimakamkan di Desa Gesikharjo, Kecamatan Palang, lima kilometer arah timur kota Tuban.
Sedangkan Syech Asy’ari disemayamkan di tlatah Bejagung, tempat semasa hidupnya melakukan dakwah dengan senjata kelembutan dan kebersahajaan. (as’ad an-nawawi)

Sunan Bejagung Tuban

Mengupas Mitos Peninggalan Sunan Bejagung Lor-B
Watu Gajah Penjelmaan Gajah Tentara Majapahit  ?

Sejarah penyebaran ajaran Islam di tanah Jawa tak bisa  dilepaskan dari sosok
Sunan Bejagung Lor dan Bejagung Kidul yang  makamnya berada di Desa Bejagung,
Kecamatan Semanding. Begitu  berpengaruhnya, sejumlah mitos dikaitkan dengan
kedua aulia ini.


DWI SETIYAWAN, Tuban

---

GUGUSAN batu besar nan hitam teronggok di barat lapangan  Desa Bejagung,
Kecamatan Semanding, sekitar 2,5 kilometer (km) selatan  barat Kota Tuban.
Sudah
ratusan tahun batu-batu tersebut bercokol di  tanah desa seluas 2 hektare
tersebut.


Sebagian batu mirip gajah,  terutama di bagian utara. Meski tidak dijaga dan
dilindungi dengan  bangunan pagar, tidak ada satu pun yang berani mengusik
batu-batu itu.  Jangankan membongkar, untuk sekadar memindahkan batu pun tidak
ada yang  bernyali.


Gugusan batu yang bernama Watu Gajah ini termasuk  salah satu mitos kebesaran
Sunan Bejagung Lor dan Bejagung Kidul. Konon,  batu-batu tersebut penjelmaan
dari gajah tentara Majapahit yang hendak  membawa pulang paksa Pangeran
Kusumohadi yang mengaji kepada Maulana  Abdullah Asyari (Sunan Bejagung).


Pangeran Kusumohadi adalah  putra Prabu Hayam Wuruk, salah satu raja Majapahit.
Setelah mengetahui  bahwa anaknya mengaji di Padepokan Sunan Bejagung Tuban,
maka sang prabu  memerintahkan patihnya Gajah Mada menjemput. Mendengar rencana
itu,  Pangeran Kusumohadimemohon kepada Sunan  Bejagung untuk membantunya
menolak kehendak Prabu Hayam Wuruk.


Alasannya,  pangeran ingin tetap menekuni ilmu Islam dan  tidak ingin menjadi
raja.  Kehendak pangeran tersebut dikabulkan Sunan Bejagung. Untuk melindungi
sang pangeran, Sunan Bejagung menggaret tanah sekitar Padepokan  Kasunanan
Bejagung yang sampai sekarang dikenal dengan Siti  Garet. Tujuannya, agar
tentara Majapahit tidak  bisa masuk kasunanan.


Tentara Majapahit akhirnya tak bisa masuk  kasunanan dan berhenti di selatan
kasunanan. Melihat itu, salah seorang  santri melapor kepada Sunan Bejagung
bahwa di sebelah selatan  kasunanan banyak pasukan gajah dari Majapahit. Sunan
Bejagung spontan  mengatakan tidak gajah tetapi batu. Karena  kekuatan karomah
sang wali, semua gajah menjadi batu.

Kepala UPTD  Museum Kambang Putih Tuban, Supriyadi membenarkan bahwa Watu Gajah

hanyalah bagian dari mitos sejarah Sunan Bejagung Lor dan Bejagung  Kidul.
Meski
dikaitkan dengan siar wali di daerah setempat, tidak ada  bukti sejarah yang
menguatkan kalau batu-batu tersebut adalah bagian  dari sejarah.

Karena itu, batu-batu tersebut tidak masuk benda  cagar budaya (BCB) yang
dilindungi. Dikatakan dia, yang masuk dalam  situs sejarah hanyalah seluruh
benda di dalam kompleks makam Sunan  Bejagung Lor dan Bejagung Kidul.

Mitos lain yang terkait dengan  karomah Sunan Bejagung adalah pantangan warga
Bejagung memakan ikan  meladang (jenis ikan laut). Sekdes Bejagung, Kusnadi
mengatakan, hampir  semua warganya tak pernah melanggar pantangan tersebut.
''Kalau  dilanggar, maka yang memakan akan gatal-gatal,'' kata dia.


Mitos  ini terkait dengan pengalaman Sunang Bejagung yang terapung di laut dan
ditolong ikan tersebut. Ponpes Sunan Bejagung mengupas pantangan  memakan ikan
ini dalam situsnya sunan-bejagung.net. Rujukannya, buku  Babad Tanah Jawa,
Babad
Tuban, dan juga buku dokumen Bejagung.


Dalam  situs ini disebutkan, suatu ketika Sunan Bejagung diajak berhaji oleh
santrinya yang berwujud jin. Santri tersebut sanggup menggendong Sunan
Bejagung
dari Tuban sampai ke Masjidil Haram Makkah. Namun, saat  digendong melintas
samudra, Sunan Bejagung lepas dan jatuh ke laut.


Dalam  musibah tersebut dikisahkan Sunan Bejagung selamat karena dan ditolong
ikan meladang. Ikan inilah yang membawa sunan sampai di suatu pantai di
Hadramaut (yang sekarang dikenal dengan Saudi Arabia). Setelah sampai di  Arab,
Sunan Bejagung berpesan kepada semua anak cucunya jangan sampai  makan ikan
meladang.

Dalam portal Ponpes Bejagung ini juga  dibeber sejarah kedatangan Sunan
Bejagung
yang dikaitkan dengan  hancurnya Kerajaan Pasai di Kutai. Setelah Pasai hancur,
terjadi eksodus  besar-besaran muballig Arab yang dipimpin Syekh Jumadil Kubro.

Pengikutnya, Syekh Ibrohim Asmoro Qondi, Maulana Ishak, Maulana Malik  Ibrahim,
Maulana Abdullah Asyari Sunan Bejagung, dan ulama lainnya.


Sesampai  di tanah Jawa yang menjadi tujuannnya, Syekh Jumadil Kubro membagi
tugas dakwah. Dia menuju kerajaan Majapahit. Maulana Ishaq ke Kadipaten
Banyuwangi, Maulana Malik Ibrahim ke Gresik. Sementara Syekh Maulana  Ibrohim
Asmoro Qondi dan  Syekh Maulana Abdullah  Asy'ari  ditugaskan di  Kadipaten
Tuban. Mubalig lainnya ditugaskan di tempat yang berbeda  dengan tujuan yang
sama, siar ajaran Islam.


Kedatangan Maulana  Abdullah Asy'ari di Tuban disambut baik Adipati Tuban
Wilotikto. Sang  Adipati sangat menghormati ulama pendatang tersebut, meski
pada
saat itu  dia belum bisa menerima islam sebagai agama yang baru. Bentuk rasa
hormatnya kemudian diwujudkan dengan memberikan tanah pardikan  (kemerdekaan)
di
sebuah daerah pegunungan yang saat ini bernama Desa  Bejagung di Kecamatan
Semanding.

Di daerah inilah Syekh Maulana  Abdullah Asy'ari mendirikan sebuah kasunanan
dengan nama Kasunanan  Bejagung sekitar 1360 M yang pada akhirnya menjadikan
beliau dikenal  dengan sebutan Sunan Bejagung .

Awalnya, tidak ada istilah Sunan  Bejagung Lor dan Sunan Bejagung Kidul karena
Sunan Bejagung memang hanya  satu yaitu Maulana Abdullah Asya'ari Sunan
Bejagung. Kisah ini berawal  dari datangnya seorang santri yang dikirim oleh
Syeh Jumadil Kubro.  Namanya, Pangeran Kusumohadi yang tidak lainputra  Prabu
Brawijaya IV atau Prabu Hayam Wuruk dari salah seorang selirnya.


Kusumohadi  pergi meninggalkan kerajaan karena tidak menginginkan tahta
kerajaan
yang saat itu menjadi rebutan antara Pangeran Wirabumi dan Putri Kusuma
Wardani. Setelah diterima sebagai santri Sunan Bejagung, Kusumohadiberganti
nama
menjadi Hasyim Alamuddin. Karena  alim, sholeh, dan ketauhidannya sangat
tinggi,
akhirnya Kusumohadi  diambil menantu Sunan Bejagung. Dia dinikahkan dengan
putrinya bernama Nyai Faiqoh.

Melihat kemampuan menantunya  dalam mengajarkan agama, Hasyim Alamuddin
dipasrahi siar di wilayah  Bejagung Kidul. Sementara Syekh Maulana Abdullah
Asy'ari berpindah atau  uzlah ke Bejagung bagian utara (Bejagung Lor). (*/yan)

HERE IN FACEBOOK

free game Straw Hat Samurai

Diberdayakan oleh Blogger.